Pengertian Delik Aduan
Istilah delik aduan (klacht delict), ditinjau dari arti
kata klacht atau pengaduan berarti tindak
pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan setelah adanya laporan dengan
permintaan untuk dilakukan penuntutan terhadap orang atau terhadap orang
tertentu atau bisa diartikan sebagai delik yang
hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan.
Pada delik aduan, jaksa hanya akan
melakukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari orang yang menderita,
dirugikan oleh kejahatan tersebut. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, yang
memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang dirugikan. Selain itu,
yang dimaksid dengan delik aduan/klach delict merupakan pembatasan inisiatif
jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini
tergantung persetujuan dari yang dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh
undang-undang. Delik ini membicarakan mengenai kepentingan korban.
Pembagian Delik Aduan
Delik aduan dibagi dalam dua jenis :
a.
Delik aduan absolut (absolute klacht delict)
Merupakan
suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang
dirugikan. Dan yang diadukan sifatnya hanyalah perbuatannya saja atau
kejahatannya saja. Dalam hal ini bahwa perbuatan dan orang yang melakukan
perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara pada kejahatan yang
dilakukan. Oleh karena itu delik aduan absolute ini mempunyai akibat hukum
dalam masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/onsplitbaar.
Kejahatan-kejahatan yang termasuk
dalamjenis delik aduan absolut seperti :
1. Kejahatan penghinaan (Pasal 310 s/d 319 KUHP), kecuali penghinaan
yang dilakukan oleh seseoarang terhadap seseorang pejabat pemerintah, yang
waktu diadakan penghinaan tersebut dalam berdinas resmi. Si penghina dapat
dituntut oleh jaksa tanpa menunggu aduan dari pejabat yang dihina.
2. Kejahatan-kejahatan susila (Pasal 284, Pasal 287, Pasal 293 dana
Pasal 332 KUHP).
3. Kejahatan membuka rahasia (Paal 322 KUHP)
4. Tentang perzinahan (Pasal 284 KUHP)
Ex: A dan B adalah
suami istri. B berzinah dengan C dan D. Dan A hanya mengadukan B telah
melakukan perbuatan perzinahan. Namun, karena tidak dapat
dipisahkan/onsplitbaar maka tidak hanya B saja yang dianggap sebagai pelaku,
tetapi setiap orang yang terlibat suatu perbuatan atau kejahatan yang
bersangkutan yaitu C dan D secara otomatis (sesuai hasil penyelidikan) harus
diadukan pula oleh A. Setidaknya delik perzinahan tidak dapat diajukan hanya
terhadap dader/mededader saja, melainkan harus keduanya dan pihak lain yang
terlibat.
b.
Delik aduan relatif (relatieve klacht delict)
Yakni
merupakan suatu delik yang awalnya adalah delik biasa, namun karena ada
hubungan istimewa/keluarga yang dekat sekali antara si korban dan si pelaku
atau si pembantu kejahatan itu, maka sifatnya berubah menjadi delik aduan atau
hanya dapat dituntut jika diadukan oleh pihak korban.Dalam delik ini, yang
diadukan hanya orangnya saja sehingga yang dilakukan penuntutan sebatas orang
yang diadukan saja meskipun dalam perkara tersebut terlibat beberapa orang
lain. Dan agar orang lain itu dapat dituntut maka harus ada pengaduan kembali.
Dari sini, maka delik aduan relative dapat dipisah-pisahkan/splitsbaar.
Umumnya delik aduan retalif ini
hanya dapat terjadi dalam kejahatan-kejahatan seperti :
1. Pencurian dalam keluarga, dan kajahatan terhadap harta kekayaan
yang lain yang sejenis (Pasal 367 KUHP);
2. Pemerasan dan ancaman (Pasal 370 KUHP);
3. Penggelapan (Pasal 376 KUHP);
4. Penipuan (Pasal 394 KUHP).
Ex: A adalah orang
tua. B adalah anaknya. Dan C adalah keponakannya. B dan C bekerjasama untuk
mencuri uang di lemari A. Dalam perkara ini jika A hanya mengadukan C saja maka
hanya C sajalah yang dituntut, sedangkan B tidak.Dari kasus di atas bisa
dilihat bahwa delik aduan relative ini seolah bisa memilh siapa yang ingin
diadukan ke kepolisian. A karena orang tua dari B, maka ia tidak ingin anaknya
yaitu B terkena hukuman pidana, dia hanya memilih C untuk diadukan, bisa karena
dengan pertimbangan C bukanlah anaknya
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), pencurian yang dilakukan oleh sanak
atau keluarga dari korban, dalam hal ini anak, disebut pencurian dalam kalangan
keluarga. Hal tersebut diatur dalam Pasal 367 ayat (2) KUHP yang
selengkapnya berbunyi:
“Jika dia adalah suami (istri) yang
terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah
keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang
derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika
ada pengaduan yang terkena kejahatan.”
Pencurian dalam keluarga diatur pula dalam Pasal 367 ayat (1)
KUHP yang berbunyi:
“Jika pembuat atau pembantu dari salah
satu kejahatan dalam bab ini adalah suami/istri dari orang yang terkena
kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan,
maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan
pidana.”
Pencurian dalam keluarga dalam Pasal 367 ini ada dua jenis pencurian,
yaitu:
1. Pasal 367 (1) Seorang suami (istri) yang tidak berpisah meja dan tempat
tidur dari istrinya (suaminya) telah melakukan atau membantu perbuatan
pencurian terhadap istrinya (suaminya) Penuntutan terhadap suami (istrinya)
tidak dapat dilakukan;
2. Pasal 367 (2) Terhadap seorang suami (istri) yang berpisah meja dan
tempat tidur;
– seorang anggota keluarga dalam garis lurus maupun garis samping sampai
derajat ke 2;
– Pengaduan terhadap pelaku dilakukan seorang istri atau suami terhadap siapa kejahatan itu dilakukan.
– Pengaduan terhadap pelaku dilakukan seorang istri atau suami terhadap siapa kejahatan itu dilakukan.
Kejahatan ini merupakan delik aduan relatif, ketentuan hanya berlaku
golongan:
- suami, istri yang berpisah meja dan tempat tidur;
- Anggota keluarga;
- Dalam garis lurus atau;
- Dalam garis samping sampai derajat ke 2;
- Di luar golongan ini penuntutan tanpa pengaduan.
- suami, istri yang berpisah meja dan tempat tidur;
- Anggota keluarga;
- Dalam garis lurus atau;
- Dalam garis samping sampai derajat ke 2;
- Di luar golongan ini penuntutan tanpa pengaduan.
Dalam hal pengaduan telah dilakukan,
namun kemudian korban hendak mencabut pengaduannya (dalam hal korban termasuk
lingkup keluarga sebagaimana tersebut dalam Pasal 367 KUHP), maka pengaduan
dapat ditarik kembali/dicabut dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan
diajukan. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orang tua dari si
pelaku berhak mengadukan si anak ke polisi atas tuduhan melakukan pencurian.
Meski demikian, si orang tua dapat mencabut kembali pengaduannya tersebut dalam
waktu tiga bulan setelah pengaduan itu diajukan.